Blog Tentang Pendidikan, Sastra dan Semesta

Mandalawangi


                                                            Cerpen: Elsa Vilinsia Nasution

source foto: Travelling Yuk (Lembah Mandalawangi)

Mampukah kekasihmu setangguh aku. Menunggu tapi tak ditunggu, bertahan tapi tak ditahan.

Kuresapi lirik lagu Fiersa Besari sambil menutup mata. Pikiranku bercabang-cabang. Wajah nan ayu pun muncul seketika. Sontak, aku  membuka mata. Pikiranku selalu berakhir di wajahnya.

“Kau adalah pemenang walaupun aku juara kedua,” lirihku menyambungkan alunan musik lagu Fiersa Besari. Kulengketkan daguku dengan meja yang tepat dibawah pohon rindang.

Ini sudah ke 18 kalinya aku mendengarkan lagu berjudul “Juara Kedua” entah kenapa aku suka saja lagu ini. Bukan karena melankolis apalagi lelaki mewek. Tidak. Aku bukan lelaki seperti itu. Namun beberapa akhir ini aku merasakan perasaan yang lain. Seperti halnya soal TOEFL yang sukar dipahami pertanyaannya begitu juga aku.

“Mp3 di hpmu cuman lagu ini ya Raz? Ini aja yang kau dengarkan,” ujar Ridho yang tiba-tiba datang dari arah belakang.

“Aku gak minta kritikanmu untuk apa yang sedang aku dengar.” Cuekku.

“Habisnya aku punya kuping untuk mendengar. Dan suer aku  bosan Raz, ckck,” ketawa Ridho benar-benar membuatku harus mematikan Mp3-ku. Aku enggan berdebat dengannya hari ini. Jika Ridho sudah berkomentar bisa mengahabiskan waktu 24 jam secara singkat.

“ckck, kalau kau bukan sahabatku udah kucium kau Do.” Candaku menatap Ridho dengan kedipan mata.

“arrrgh, ucapan dan tatapanmu Raz buat aku takut suer. wkwk,” tawa kami berdua pun pecah di salah satu pendopo kampus.

“Bagaimana kabar Vilna, Raz? Masih dia impian masa depanmu?” pertanyaan Ridho membuat tawaku henti seketika. Aku menarik napas  dalam-dalam. Kukeluarkan bersama jawaban-jawaban yang belum bisa kuterima.

“Aku rasa dia sehat Do, apalagi ada seseorang yang membahagiakannya.” Jawabku. Kulemparkan pandanganku ke langit. Awan bergumpalan seperti bantal. Cuaca sangat ramah hari ini.

“Sudahlah Raz, kau sendiri sudah tau jawabannya. Ngapain kau masih mengharapkan perempuan yang sudah memiliki pacar. Walaupun dia belum ada ikatan halal, tapi lihatlah pacaran aja dia mau. Aku tau tipe  perempuan yang kau impikan gimana. Aku juga tau Vilnalah salah satu perempuan yang mendekati impianmu. Tapi, dia udah punya pacar sob. PACAR!!” Ujar Ridho yang cukup panjang bila menasihati sahabatnya.

“Lagi pula, kau itu pintar, ganteng, humanis, dan anti yang namanya pacarankan? Jadi lebih baik kau pilih saja perempuan seperti Khanza Fatimah, udah solehah, gak pernah pacaran, cantik, dan sepertinya ia suka samamu Raz.” Tambah Ridho lagi memotong Razka menjelaskan apa yang ingin ia katakan.

“Entahlah Do.” Jawabku singkat.

“Udah lupakanlah Raz. Apa perlu kita mendaki gunung? Biar kau musnahkan dia dari pikiranmu?” tanya Ridho lagi sambil menyedot orange jus yang ia beli di kantin.  

“Gunung bukan tempat pelarian Do, lagipula gunung mana lagi yang harus aku daki bila puncak tertingginya adalah dia.” Kali ini aku menjawab pertanyaan Ridho dengan melihat bagian selatan pendopo. Tampak gunung dari kejauhan, jika cuaca cerah seperti ini bukit-bukit yang berbaris dan gunung  Sinabung terlihat jelas.

“Bisa gila aku dengar jawaban puitismu itu Raz.” Ledek Ridho memanyunkan bibirnya ke arahku. Ridho bergegas pergi meninggalkanku. Entah karena jawabanku atau karena ia capek menasihatiku. Aku sudah paham betul caranya kalau ia mengangkat bendera kekalahan. Dengan cara pergi tanpa pamit.

***

Sebenarnya semua perkataan dan  nasihat Ridho ada benarnya. Malah sangat benar jika dipikirkan secara logika. Namun aku sendiri juga tidak tahu kenapa perasaanku masih saja menuju ke arah Vilna, gadis yang menetap dihatiku selama 4 tahun ini. Vilna adalah temanku sejak sekolah dasar. Kami berbeda satu tingkat. Ia kelas satu aku kelas dua. Dulu Vilna dikenal pintar di sekolah. Ia selalu mendapatkan ranking satu. Aku yang waktu itu, sebagai kakak kelasnya juga termasuk pintar karena aku ranking satu di tingkatan aku. Akrabnya kami bukan dari sekolah dasar, tetapi empat tahun belakangan ini, semenjak aku bertemu dengannya di acara reuni sekolah. Keakraban kami pun semakin terasa saat kejadian satu tahun lalu ketika aku dan Vilna mendaki Gunung Sibuatan, Sumatera Utara. Vilna dan kawan kelompoknya dari kampus Universitas ternama di Jawa Barat memilih Gunung Sibuatan sebagai lokasi penelitiannya dan memilihku sebagai guidenya. Dari situlah aku tahu bahwa Vilna sudah memiliki kekasih.

“Bang Razka, hari sabtu-minggu ada kegiatan tidak?” pesan singkat muncul di notifikasi ponselku.

Setelah kulihat siapa pengirimnya. Alangkah terkejutnya aku. Ini beneran? Ini gak bohongkan? Vilna Ariansa mengirim pesan denganku? Dan dia nanya kegiatanku. Siapapun yang sedang jatuh cinta pasti merasakan bahagia sepertiku. Segera kubalas dan percakapan kami berujung pertemuan di gunung Sibuatan.

“Terima kasih bang Raz, sudah menjadi guide kami. Gak sia-sia punya teman yang hobi ke alam seperti abang.” Ucap Vilna memberikan senyum simpul kepadaku. Apapun itu, ingin rasanya aku menghentikan waktu. Senyumnya benar-benar membuatku takkan melupakan kejadian itu.

Di bawah pohon-pohon menjulang tinggi dan bulan purnama membulat tepat di atas kepala kami. Diantara nyanyian hewan malam, kami mendirikan tenda di shelter tiga, Gunung Sibuatan. Aku saksikan bola matanya berbinar saat berbicara denganku.

“Iya, Vil. Jangan sungkan. Lagian mana mungkin aku menolak ajakan mahasiswa IPB sepertimu.” Candaku sambil menggaruk-garukkan kepalaku yang tidak gatal.

Kami berdua pun tertawa. Syukurnya teman-teman Vilna yang terdiri dari 4 orang termasuk kekasihnya Vilna sedang istirahat di dalam tenda. Kata Vilna mereka baru perdana mendaki gunung. Jadi wajar mudah lelah dan sampai tertidur di tengah hutan seperti ini. Apalagi esok mereka harus kembali meneliti spesies dan tumbuh-tumbuhan yang ada di Gunung Sibuatan. Hanya Vilna dan Razka yang belum tidur. Entah karena menikmati suasana yang sudah dinanti Razka, atau karena alam tak mengizinkan mereka melewati kesempatan bersama langka seperti ini.

Lagi-lagi aku menyalahkan diriku sendiri kenapa bisa mencintai perempuan yang tak pernah melihat punggungku. Bagaimana bisa aku mencintai perempuan yang tak pernah mengarah kepadaku. Bagaimana bisa aku tersenyum saat melihat wajahnya di wallpaper ponselku. Bagaimana bisa, bagaimana dan bagaimana. Segala pertanyaanku membuatku kalut. Kata Ridho, seorang yang dibutakan cinta akan mengalami syndrom sepertiku tapi akan berakhir jika menemukan yang baru.

Lantas, bagaimana denganku yang belum ada tujuan mencari yang baru? Aku sudah  bersikeras menyibukkan diri dengan kegiatan positif di kampus dan di luar kampus. Tetap saja hasilnya nihil. Vilna masih impian masa depan yang ingin aku segerakan. Vilna masih perempuan yang masih aku alamatkan kepada Maha Pencipta. Vilna masih bagian semangatku yang belum aku sudahkan. Vilna perempuan aku yakini bisa menjadi ibu yang melahirkan anak-anakku sebagai generasi emas kelak. Vilna adalah salah satu alasan aku mempertahankan kejombloanku. Padahal sudah  berapa banyak chat, ucapan dan surat dari gadis-gadis yang lebih cantik dari Vilna.

Entahlah aku masih meyakini ada alasan dan jawaban yang tepat kenapa Allah menitipkan rasa ini padaku. Meskipun kebanyakan teman-temanku menganggap itu alasan untuk sebuah rasa yang salah agar bisa menemukan rasa yang benar-benar tepat. Tapi, aku malah memiliki pemikiran yang berbeda. Perasaanku kepada Vilna barangkali adalah doa ketulusan Vilna yang meminta jodoh yang tepat. Atau segala kebaikan-kebaikan yang dilakukan Vilna selama ini hingga aku adalah jawaban Allah untuk membalas kebaikannya tersebut.

Barangkali ini juga alasan mengapa aku suka dengan lirik lagu Fiersa Besari yang seperti ini: Mampukah kekasihmu setangguh aku, menunggu tapi tak ditunggu. Bertahan tapi tak ditahan. Baper; bawa perasaan. Begitu kata Ridho. Terserah sih. Aku selalu tak melawan ataupun menerima. Bagiku perasaanku adalah milikku termasuk persoalan menunggu. Bukankah menunggu adalah jawaban sementara untuk perasaan cinta sejati?

***

Aku sudah memikirkan matang. Aku akan mengikuti kegiatan camping di Gunung Gede-Pangrango, Cianjur Jawa Barat. Sudah lama aku menantikan ini. Uang hasil menulisku pun kutabung selama ini untuk menuju ke kotanya. Selain mendaki, banyak kegiatan positif yang akan kulakukan di sana. Menanam pohon, memberikan pendidikan di sekolah pelosok wilayah Cianjur dan yang terpenting aku akan menemui sajak-sajak Mandalawangi milik Soe Hok Gie. Sekaligus sebuah momen penting soal rasaku. Aku beranikan diri memberitahukan kepada Vilna. Berharap dia bisa menemuiku di kota Bandung. Tak ada balasan, sehari, dua hari bahkan sampai aku di kota Bandung.

Aku ikhlas. Lagi, aku berpikir memangnya aku siapa dia? Mungkin dia lupa. Mungkin dia ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Setahun lalu berlalu. Setahun sudah semenjak pertemuan kami di Gunung Sibuatan. Kami tidak pernah saling berkomunikasi. Mungkin karena semester menuju akhir atau karena ia tak menganggapku sebagai temannya.

Tiga hari berlalu semenjak tibaku di Bandung. Timku pun akhirnya mendaki Gunung Gede. Setelah tim komunitasku melewati tanjakan setan akhirnya tiba juga di Taman Edelweiss milik Mandalawangi-Pangrango. Kami beristirahat sejenak. Kubaringkan tubuhku memeluk tanah. Sajak-sajak Soe Hok Gie benar-benar hidup di batinku. Aku merasakan kesyahduan semesta di sini. Kubangkitkan tubuhku. Tak sengaja kulihat seorang gadis berjilbab abu-abu membelakangiku tepat tujuh langkah dari tempatku. Sepertinya gadis berjilbab itu menikmati keindahan bunga edelweiss.  “Edelweiss kau hebat membuat orang-orang yang kesini jatuh cinta,” ucapku dalam hati. Aku bergegas berdiri membalikkan punggung kepada gadis berjilbab itu.

“Bagaimana kalau seseorang yang sama selalu hadir dalam mimpiku, apa itu dinamakan jodoh Bang Razka?” Suara gadis itu benar-benar menghentikan langkahku. Aku langsung membalikkan punggung. Kutemui wajah yang selama ini kuaaminkan. Vilna.

“Kenapa kamu bisa di sini Vilna? Kamu…kamu…,” aku tidak sanggup berkata-kata. Vilna mendekatiku.

“Aku datang kembali bang. Meskipun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna. Aku datang kepadamu berbicara tentang cinta dan keindahan. Begitukan kata Soe Hok Gie?” tanya Vilna memasangkan mata yang membulat. Sungguh, sajak Mandalawangi yang dikatakan Soe Hok Gie benar-benar hidup dalam perasaan dua sepasang manusia ini. Perasaan yang sesungguhnya tak pernah kusesali. Jawaban yang terus kucari. Pada akhirnya, semesta alam memberikan waktu yang tepat untuk seseorang yang tetap dalam penantian. Tak ada waktu yang mengkhianati perjuangan.


*Cerpen ini terbit di Harian Medan Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar