Blog Tentang Pendidikan, Sastra dan Semesta

Ranca Upas

Cerpen: Elsa Vilinsia Nasution

 Source gambar: blog.tripcetera.com

Bukankah semua mahkluk hidup adalah nyawa, apa yang perlu kita angkuhkan sesama nyawa?  

Itulah jawabanku jika ada orang lain yang bertanya “kenapa selalu menghubungkan kepedulian kepada hewan dan tumbuhan? Padahal sesama manusia saja masih banyak yang kurang peduli”. Aku selalu heran jika ada yang bertanya seperti itu padaku. Baik itu teman-temanku di dunia nyata dan dunia maya.

Wajar sih, jika teman-temanku suka bertanya begitu karena dalam dunia nyata Aku selalu mengikuti komunitas dan aksi sosial yang berhubungan dengan kepedulian hewan dan tumbuhan. Aku berharap diantara teman-temanku yang tahu kegiatan sosialku ada rasa kepedulian juga dan menular rasa kecintaan mereka tentang makhluk hidup. Namun, Aku keliru. Ternyata sulit membuat mereka peduli dalam tindak nyata. Hanya beberapa saja yang terlihat mau turun tangan langsung jika Aku dan teman-teman komunitas mengadakan konservasi salah satunya ke lokasi hewan Orangutan.

Syukurnya, Aku memiliki sahabat yang selalu mendukung apa yang selalu Aku lakukan terutama pada bagian hewan dan tumbuhan. Namanya Mita. Dia selalu hadir ketika Aku di undang di berbagai acara seminar  yang berhubungan dengan hewan dan tumbuhan. Salah satunya, acara seminar di salah satu kampus Medan yang hari ini berlangsung dan Aku sebagai pematerinya.

Setelah selesai acara seminar tersebut, Mita mengirim pesan di layar ponselku.

“Rayna, Aku tidak dikasih masuk sama panitia nih. Segera ke pintu masuk auditorium ya.”

Segera kutemui dia depan pintu masuk auditorium. Ia seperti tergesa-gesa. Terlihat dari caranya berusaha menerobos panitia acara untuk menemuiku.   

“Dia kerabat saya kak, mohon kasih izin dia masuk.” Ucapanku seperti kunci untuk membuka pintu tersebut. Mita langsung dikasih izin dengan sebuah ucapan maaf dari panitia.

Setelah dikasih izin, Mita menarikku ke tempat yang cukup aman dengan ekspresi wajahnya yang ceria.

“Keren Ray pas kamu mengisi materinya tadi. Aku terpesona, hihihi.” Ujar Mita sambil mengangkat kedua jempolnya.

“Haha, kamu bisa saja Mit. Eh sudah makan belum? Makan yuk. Aku teraktir nih.” Ajakanku kali ini membuat Mita mengangguk-angguk kepalanya pertanda setuju.

“Ciee, yang lulus melanjutkan pendidikan S2 di Jawa Barat. Langsung ngajak teraktir makan aja. Selamat ya Ray. Hihi” guyonan Mita membuatku kikuk.

“Kamu tahu darimana Mit?” spontan Aku menanyakan itu kepadanya.

“Aku baru di hubungi ibumu. Dia mengundangku datang ke rumahmu hari ini. acara makan-makan ya? Hehe.” Jawab Mita dengan pertanyaannya yang membuatku senyum-senyum sendiri.

“Haha. Iya mungkin. Ayoklah ke rumah.” Aku dan Mita bergegas ke rumah.

Sesampai di rumah, benar kata Mita. Ibu membuat acara sederhana untuk kelulusanku melanjutkan studiku ke Jawa Barat. Setelah selesai makan, Aku mengajak Mita ke beranda rumahku.

“Ray, kenapa memilih kampus di Jawa Barat sih? Di Medan juga gak kalah kerennya dengan kampus Bandung.” Ray membuka percakapan ketika suasana  hening.

“Karena ada tujuanku ke sana selain melanjutkan kuliah Mit. Ada salah satu tempat yang ingin sekali Aku kunjungi.” Jawabku. Mataku liar melihat bintang-bintang di langit. Suasana malam ini benar-benar syahdu.

 “Jangan bilang tujuanmu ke Opera Van Java” cetus Mita sambil cengar-cengir.

“Ih, memang kamu yang suka ke tempat begituan.” Balasku dengan canda gurau.

“Jadi, kemana Ray?” Mita melebarkan matanya. Kali ini, dia penasaran tujuanku sesungguhnya.

“Ranca Upas.” Jawabku bulat.

“Hmm, serius? Hanya kesitu saja Ray?” pertanyaan Mita benar-benar membuatnya heran sendiri.

“Iya.” Jawabku singkat.

“Ya, ampun Ray. Kan bisa jalan-jalan tak meski kuliah juga disana.”

“Aku harus sering ke Ranca Upas, Mit. Ada alas an kuat aku harus ke sana.” Yakinku mantapkan pikiran Mita.

“Iya deh, terserah kamu Ray. Terkadang Aku heran Ray sama kamu. Kamu benar-benar aneh ya Ray. Jurusan kuliahmu sangat jauh dari namanya hewan dan tumbuhan. Tetapi kamu suka banget ke alam dan ke penangkaran banyak hewan gitu. Cocoknya dulu kamu ambil jurusan biologi Ray. Ckck.” Ledek Mita. Tawanya terdengar kuat.

Aku balas dengan tawa juga. Aku sendiri menyukai segala perbedaan termasuk perbedaan jurusan perkuliahan yang kupilih dulu dengan kegemaranku.  Bagiku, menyayangi alam bukan berarti harus Mahasiswa Pencinta Alam. Menyayangi hewan bukan berarti harus dokter hewan, dan menyayangi sesama manusia tidak hanya menteri sosial. Kita semua punya porsi humanisme yang sama. Namun diabaikan masing-masing individual.

********

Keesokan harinya, Mita membantuku packing. Di sela-sela packing, Mita menceritakan kabar terbaru yang membuat pikiranku mengingat kembali. Bukan tentang dunia pendidikan, politik, apalagi hewan melainkan kabar terbaru tentang lelaki yang selama ini masih kulafalkan dalam doa. Mita mengetahui semua tentangku termasuk perasaanku. Bagaimana tidak, kami sudah berteman dari bangku sekolah dasar sampai sekarang. Aku merasa nyaman jika berbagi  cerita dengannya begitupun Mita.

“Kudengar, Abang Al kembali ke Medan akhir bulan ini Ray.” Mita membuka percakapan.

Aku diam. Nama lelaki itu mampu membuatku berhenti mengerjakan kesibukanku. Aku rapikan detak jantungku yang mulai berdegup lebih cepat. Berharap Mita tidak meneruskan kembali pembahasannya tentang Al.

“Ternyata Bang Al sering pulang setiap bulan ke Medan. Kamu tak tahu itu Ray?” Aku di beritahu oleh Fery, abang kelas kita Ray. Teman sebangku Bang Al.” sambung Mita lagi.

“Aku tahu Mit.” Jawabku singkat. Tidak ingin kuperpanjang cerita tentang Al. Ini bukan cerita menyakitkan namun cerita tentang melepaskan. Aku takut sulit melepaskannya jika namanya terus menjadi pembahasan ihwal hati.

“Kamu tahu darimana Ray? kok tidak ceritakan kepadaku? Kata bang Fery, Bang Al mendapat lulusan terbaik di kampusnya. Gak heran ya, dari dulu tetap juara I, ganteng lagi” Mita terus menyambungkan ceritanya.

“Apa ini alasanmu Ray memilih kampus di Jawa Barat untuk bertemu dengannya?” pertanyaan Mita menghentikan packingku. Mata Mita sinis melihatku. Ia seperti mengeja apa yang ada di pikiranku.

Aku diam. Pura-pura aku mengecek barang-barang yang akan kubawa ke Bandung. Tak ingin kutatap wajah Mita. Aku benar-benar tak punya alasan lagi tentang pertanyaan itu. Sejujurnya, Aku berharap sekali bertemu dengan Al. Hampir empat tahun Aku tidak melihat wajahnya. Bahkan sampai dia sudah sarjana hingga mengabdi menjadi dokter. Sampai detik ini, Aku enggan menerima perasaan siapapun selain perasaannya. Aku masih berharap kelak Al membalikkan punggungnya dan melihat ada Aku yang terus setia melihatnya. Al sendiri tidak tahu perasaanku. Aku saja yang terus berharap.

Orang-orang mengatakan untuk apa jatuh cinta dengan orang yang tidak jatuh cinta dengan kita? tapi naluriku berkata perasaan ini milikku. Terserah berbalas atau tidak. Aku yakin Tuhan turut andil soal rasaku. Tidak ada kebetulan apalagi untuk bermain-main soal hati. Aku juga terus menyibukkan diri yang bermanfaat. Salah satunya berbagi kasih sayang sesama makhluk hidup. Kupikir kelak kebiasaanku ini mampu melupakannya namun Aku keliru, perasaan itu makin bertambah setiap hari. Aku semakin paham arti kerinduan. Aku semakin penasaran sebuah tatapan benarkah rindu terlunasi?

***********

Awan-awan bergumpalan membentuk bantal besar. Jika dilihat dari bawah ada susunan garis sungai yang menyambung menuju lautan. Sejauh mata memandang terlihat juga Gunung Cikuray dan Ciremai beradu mempertunjukkan keindahannya. Baru kali ini Aku merasakan terbang di angkasa melalui transportasi udara.

Tak terasa Aku sudah sampai di Bandara Husein Sastranegara. Perjalanan terasa menyenangkan. Aku menikmati setiap kendaraan dan lalu lalang orang-orang sekitar. Aku pun tiba di hotel yang sudah kupesan beberapa bulan lalu.

Hari-hari yang terlewati kuabadikan di lensaku. Setelah beberapa hari yang lalu Aku mengelilingi kota Sunda ini dan melihat lokasi sekitar kampus yang akan menjadi rutinitasku di kemudian hari. Akhirnya Aku memutuskan malam terakhirku di Bandung untuk  berkemah di  Ranca Upas  daerah Ciwidey, Jawa Barat. Sudah lama, Aku bermimpi sekali berkemah sekaligus merasakan kedekatan dengan rusa-rusa yang dilepas bebas di Ranca Upas. Beruntungnya, Aku bertemu dengan teman baru yang lulus beasiswa juga di Universitas yang kupilih. Namanya Virna. Setelah bercerita banyak hal, Virna suka mendaki gunung. Dia tidak keberatan menemaniku berkemah di Ranca Upas.

Setelah janjian untuk bertemu di Ranca Upas. Ternyata Virna lebih duluan tiba di Ranca Upas. Aku melihatnya memakai jaket berwarna merah muda. Dari kejauhan Virna melambaikan tangan memberi isyarat agar Aku mendekat.

“Ray. maaf ya. Aku bawa sepupuku juga. Soalnya Aku tidak begitu pintar pasang tenda. Tidak apa-apakan Ray?” Virna memegang kedua jemariku. Aku membalasnya dengan senyuman.

“Iya, tidak apa-apa kok. Lagi pula, biar ada yang menjaga kita. Aku takut kita dimakan rusa. Hihi.” jawabku dengan canda gurau.

“Kamu ada-ada saja atuh Ray.” balas Virna sambil tertawa kecil.

Kami tertawa bersama-sama.

“Vir, bentar ya. Aku ingin memberi oleh-oleh nih sama rusa. Hehe.” Ujarku menunjukkan sekantong plastik berisi wortel. Virna cengir melihatnya. Ia pun mempersilahkan Aku untuk melihat sekitaran Ranca Upas.

Setelah Aku puas memberikan makan sekaligus mengabadikan rusa-rusa di lensaku. Senja kembali menampakkan kemolekannya. Aku yang takut langit berubah gelap bergegas menuju tenda  Virna.

Seingatku, tenda berwarna biru ini adalah milik Virna namun kulihat ada lelaki duduk membalikkan punggungnya menghadap tenda. Takut kesasar, Aku segera bertanya ke lelaki tersebut. Belum Aku keluarkan suara untuk menyapa, lelaki itu sepertinya tahu ada bayangan seseorang di belakangnya. Spontan Ia menoleh ke arahku.

“Bang Al?” batinku terkejut. Spontan tanganku menutup mulutku yang menganga. Mataku bekedip pelan-pelan. Siap melepaskan air yang akan jatuh ke pipiku.

Lelaki itu langsung berdiri, seperti penasaran siapa Aku sebenarnya. Mata kami saling bertemu. Pertemuan yang selama ini Aku rengekkan kepada pemilik Semesta. Kini alam semesta benar-benar memberikan rencana tak terduga bagi setiap insannya. Lelaki yang selama ini kuceritakan kepada Tuhan benar-benar di wujudkan di depan mata. Lelaki yang membuat Aku dan Mita berdebat bahkan sempat diam-diaman. Lelaki yang tetap kulihat dari kejauhan melalui jejaring sosial meskipun jarak membentang ribuan kilometer. Lelaki yang menjadi alasanku sampai sekarang menolak para lelaki yang mendekatiku. Ada sekitar lima menit kami hanya menatap tanpa berbicara. Aku yakin, hanya Aku yang tak mampu mengeluarkan suara. Menyusun kata perbait kata yang sudah terangkai dalam puisi dan cerpen yang tertulis di otakku selama ini. Namun semua tulisan dan kata-kata bijak pun luntur seketika saat peristiwa tak terduga ini terjadi padaku. Sedangkan Al, aku lebih yakin dia terlihat bingung. Mencari lembaran-lembaran lama dalam pikirannya. Menerka wajah yang tak pernah dipikirkan ada di hadapanya. Hingga Ia pun membuka percakapan.

“Rayna? Adik junior waktu Abang Sekolah dasar dulukan?” akhirnya Ia duluan yang bertanya kepadaku.

“Iy,iy,iy-y-ya, Benar. Bang Al, apa kabar?” sahutku terbata-bata. Menangkap apa yang muncul dipikiran dan langsung kulontarkan pertanyaan balik kepadanya. Sungguh jantungku benar-benar tidak stabil. Ada kebahagiaan yang terpancar di mataku. Aku berusaha menetralkan tanganku yang mulai gemetaran.

“Loh, kalian saling kenal?" Virna tiba-tiba keluar dari dalam tenda.

Aku dan Al tidak menggubris Virna. Mata kami berdua masih saling menatap. Seperti ada cerita-cerita yang saling disampaikan melalui mata. Entah itu perasaan atau kerinduan yang tiba pada puncaknya. Atau cara kerja semesta mempertemukan Rayna dan harapannya melalui Ranca Upas.

*Cerpen ini terbit di Harian Jurnal Asia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar