Blog Tentang Pendidikan, Sastra dan Semesta

Hutan Dibakar dalam Panggung Teater SISI UMSU

Hutan dibakar. Kabut asap mengepul ke seluruh bumi nusantara. Anak-anak berhenti sekolah. Sementara cukong-cukong berkeliaran menikmati ketidakpedulian terhadap lingkungan. Itulah realitas Indonesia hari ini dan entah sampai kapan berhenti. Seniman teater peduli dan mereka menyuguhkannya di atas panggung teater.

Simbolisasi menjadi salah satu kekuatan pertunjukan teater kontemporer. Berbeda dengan teater konvensional yang laku dramatiknya terstruktur dengan baik, pentas teater kontemporer cenderung abai terhadai kaidah dramaturgi. Suguhan seperti demikian yang bisa disimpulkan pada pementasan Teater SISI UMSU dalam naskah NUN karya Yondik Tanto dan disutradarai Rifki Arnold, Selasa, 29 September 2015 di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara.

Pertunjukan yang digelar selama dua hari cukup mendapat apresiasi ratusan penonton yang memadati gedung. Gerak penuh simbol dalam durasi 45 menit tersebut tidak membuat penonton kehilangan suguhan teatrikal yang unik.

Tiga aktor memulai permainan simbol. Mereka mengenakan kostum putih sebagai objek pendukung dalam pertunjukan teater. Ketiganya bermain seirama musik yang dilantunkan. Dua diantaranya memakai baju yang seperti sayap atau daun sedangkan satu pemain yang berperan di tengah menggunakan properti pendukung seperti pohon yang kering di punggungnya.

Simbol kekeringan atas bencana yang terjadi di tanah air mulai diperlihatkan saat pemeran utama pria (Roni Sanjani)  dan wanita (Suci Syuhada) pun muncul dengan memakai baju yang usang seperti gelandangan. Sesekali mereka seperti mencari-cari sesuatu di atas panggung yang sudah dirancang dengan pandangan bahwa itu adalah tanah negeri kita yang sudah kering dan dikelilingi oleh abu putih.

Kisah Nun adalah gambaran ketika manusia kehilangan sumber hidupnya. Ia akan merasa seperti bumi gersang dengan sebatang pohon kering tanpa daun menunggu mati. Moral, etika adalah sumber hidup paling dalam yang berakar di nurani mampukah kita mencari dan melengkapi semua itu ketika jiwa menjadi kosong tanpa rasa dan kepedulian yang tinggi. Ketika manusia  kehilangan sumber hidupnya maka sesuatu akan berubah menjadi liar, buas dan saling memakan sesama seperti kanibal-kanibal yang lapar.

Nun adalah cerita ketika semua bahwa manusia sudah mulai melupakan sumber kehidupannya sendiri yaitu alam. Sudah berjuta-juta pohon ditebang secara liar, terutama kebakaran hutan yang kini melanda Indonesia. Tidak perlu kita memikirkan nasib nafas negara tetangga namun coba bayangkan nasib jutaan nafas yang sudah tidak suci lagi. Ya, itulah manusia karena kesibukan masing-masing mencari kekuasaan dalam memenuhi kehidupan malah menjadikan itu sebuah pisau yang menusuk manusia-manusia tak bersalah. ‘’Alam dan kita adalah kesepakatan hidup yang tak dapat dipisahkan.” Benar, di sini sangat mengandung makna yang dalam, tentang kehidupan yang akan fana jika kita sendiri yang merusak alam yang seharusnya dilestarikan.

Dan sekarang saya mulai mengerti arti sebuah masker yang diberikan kepada setiap penonton. Bukan karena ruangan tersebut berasap atau properti – properti pemain mengandung bau dan asap, melainkan sebuah pesan bahwa negeri kita mulai kehabisan nafas yang seharusnya dapat dibantu oleh alam. Kebakaran hutan yang mengepung kondisi pulau Sumatera seperti kota Pekan Baru, Jambi, Palembang, Lampung dan Kalimantan sampai sekarang masih belum ditemukan titik ujungnya. Bukan hanya tentang iba dan rasa kepedulian kepada sesama namun asap – asap itu telah banyak membunuh kehidupan yang tak seharusnya menanggung segalanya seperti tiadanya rimbun daun hijau, hutan rimba sudah berubah menjadi hutan hitam, jutaan hewan kehilangan nyawa dan tempatnya berteduh

Esai saya ini terbit di Waspada, 4 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar