Blog Tentang Pendidikan, Sastra dan Semesta

Selembar Kertas Milik Emak

                                                           Cerpen: Elsa Vilinsia Nasution

 

          source gambar by eatyourmie's Blog

          Sore mulai merekahkan kepetangannya. Burung-burung masih berkeliaran di langit. Dan diantara matahari yang pelan-pelan menurun, ada seseorang yang selalu setia melihat jalan menuju rumah. Ialah Emak. Mata Emak terus melihat silih berganti orang yang turun dari angkutan umum. Terkadang Emak menunggu sambil diiringi teh manis hangat. Terkadang juga sambil membaca salah satu buku yang kubaca.

Emak menoleh jam dinding yang biasa terlihat di beranda rumah. Ia mulai cemas. Waktu sudah menunjukkan matahari akan terbenam. Tak berapa lama dari arah gang jalan pasar, Aku turun dari angkutan umum. Emak menaikkan garis bibirnya. Kecemasan gugur seketika.   

“Assaalamualaikum, Mak.” Sapaku mendaratkan ciuman ditangan Emak. Aku hirup aroma balsem di punggung telapak tangan Emak. Sudah menjadi kebiasaan Emak sehabis ashar memakai penghangat badan tersebut, katanya biar hangat terus sehabis mandi sore.

“Walaikum salam, kok lama sekali pulangnya Lin?” Tanya emak membantu meletakkan bawaanku dari kerja.

“Ada tugas tambahan tadi dari sekolah, Mak.” jawabku melihat sorotan mata Emak yang menyimpan kecemasan disana.

Emak memberikan segelas teh manis yang masih hangat ditenggorokanku. Hal seperti inilah yang membuat emak begitu romantis di kehidupan anak-anaknya. Aku selalu bersyukur dilahirkan dari rahim emak yang dipenuhi dengan ayat-ayat doa yang mengalir dalam darahku. Barangkali, alasan kekuatan semangat anak juga karena emak. Benar kata orang-orang, bahwa sosok ibu susah di definisikan. Aku sedang merasakannya.

Emak menyiapkan makanan yang lezat setiap hari termasuk hari ini. Bagiku, masakan Emak mengalahkan restoran manapun. Emak adalah koki terbaik di rumah kami. Bapak pun tak pernah lepas memuji masakan Emak setiap hari. Aku merasa beruntung berada diantara mereka berdua.

“Masakannya enak Mak.” Ujarku menyantap makanan yang Emak siapkan. Emak diam saja. Aku menemukan wajah kecemasan disana. Aku bingung. Apa ada masalah keluarga yang tidak Aku ketahui.

“Barangkali beradu argumen dengan bapak.” Pikirku, namun itu mustahil. Bapak kerja sampai petang. Aku pun berusaha berpikir positif. Kuhabiskan sepiring nasi yang Emak berikan. Aku pun mencari celah yang tepat untuk bertanya kepada Emak.

 

Selepas azan isya berkumandang. Emak duduk di sofa bagian kiri ruang tamu. Aku mendekati Emak. Kutemukan beliau menulis sesuatu hal di selarik kertas. Banyak yang ditulis Emak dalam kertas itu.  

“Mak, lagi nulis apa sih?” tanyaku penasaran melihat Emak yang pelan-pelan menulis dengan memasangkan kacamatanya.

Mendengar suaraku, Emak kaget. Beliau buru-buru melipat kertas tersebut. Disimpannya kembali dalam genggaman tangannya. Aku yang melihat gelagat aneh Emak jadi semakin curiga. Apa sebenarnya isi surat yang Emak tulis.

“Ini, pengeluaran belanjaan hari ini Lin. Bagaimana mengajarnya tadi, Nak?” jawab Emak sekaligus mengalihkan pertanyaanku. Aku semakin penasaran tak menjawab pertanyaan Emak, malah kembali bertanya hal yang sama.

“Ada apa sih, Mak? Kertas tadi isinya apa? Elin pengen tahu.” Tanyaku kembali berharap Emak tidak menyembunyikan sesuatu dariku.

“Tak ada apa-apa Lin, pengen tahu aja urusan orangtua. Nonton tv aja sana, Nak.” Ujar Emak tanpa menjawab pertanyaanku. Nadanya tidak meninggi sama sekali. Masih di tangga nada lembut seperti biasa. Aku yang sudah diberikan kartu mati oleh jawaban Emak langsung tak menanyakan soal kertas itu lagi.

 

***********

 

Sudah dua hari ini Emak menulis di selembar kertas yang sama. Kali ini, Aku melihat Emak menulisnya ketika Aku sudah tidur. Emak dan Aku tidur sama malam ini, karena Bapak ada tugas dinas di kerjanya. Aku yang sebenarnya pura-pura tidur merasakan suara pena yang mencoret pola tulisan di kertas. Tak berapa lama, Emak pun tidur. Emak meletakkan kertas tersebut di laci samping tempat tidur. Aku memicingkan mata sedikit untuk melihat kepulasan tidurnya Emak. Setelah merasa aman, Aku pun mengendap-endap turun dan membuka laci tersebut.

Kutemukan kertas yang Emak tulis sejak malam kemarin. Sungguh, Aku penasaran. Namun, apa yang sedang kulakukan? Ini adalah privasi Emak yang tak seharusnya Aku buka.

“Privasi orangtua tak boleh seharusnya penasaran seperti ini.” ujarku dalam hati. Aku pun membatalkan niatku membuka kertas tersebut.

Keesokan harinya, Aku pergi mengajar seperti biasa. Selepas jam mengajar, aku  mendapat info dari  laman, bahwa ada pembukaan menjadi pengajar sekaligus relawan di pelosok negeri. Niatku yang dari dulu ingin merasakan menjadi relawan pun terpancing untuk mencoba. Tak ada pikiranku untuk lulus menjadi relawan tersebut karena Aku tahu, tesnya cukup berat dan orangtua pasti tidak akan mengizinkan.

Hari silih berganti. Aku tidak pernah melihat Emak menulis di kertas seperti waktu dulu. Emak sudah normal seperti biasa. Ketika sore datang selalu menunggu Aku di beranda rumah. Waktu malam tiba, Aku dan Emak sering lesehan di ruang televisi. Emak yang menonton salah satu acara stasiun televisi, tiba-tiba saja bercerita harapannya kepadaku.

“Emak berharap suatu hari nanti, Elin bisa menjadi guru yang pengabdiannya diakui Negara kita, Nak.” Kata Emak membayangi sesuatu dalam pikirannya. Matanya penuh harap dan doa di dalamnya.

Aku terdiam mendengar keinginan spontan yang terucap oleh Emak. Aku menangkap jelas harapan Emak tersebut. Kuaaminkan dilangit malam. Hatiku terus berdoa kepada sang Maha Pencipta untuk mengindahkan harapan Emak. Aku tahu, cita-cita Emak juga sama halnya sepertiku ingin menjadi guru. Namun sayangnya, waktu dulu Emak gagal karena tinggi badan. Aku yang mendengar itu merasa iba pada Emak. Barangkali harapan Emak inilah yang tumbuh dengan sendirinya di semangat cita-citaku hingga akhirnya Aku benar-benar sudah menjadi guru meskipun belum diakui oleh Negara.

Begitulah suasana malam keluargaku. selepas makan malam kami terbiasa cerita banyak hal. Emak menceritakan kejadian dilingkungan rumahku dan Aku selalu menceritakan kejadian yang Aku alami selam satu harian. Di usiaku kini yang sudah bukan anak-anak lagi, Aku sering curhat kepada Emak begitu juga dengan Emak. Bahkan bercerita tentang tipe jodohku dan mimpi besarku selalu cerita kepada Emak. Bahagianya, Emak selalu mendukung dan ikut menyukai mimpi-mimpi besarku. Tanpa Emak, barangkali Aku tak bisa mencapai cita-citaku seperti sekarang ini.

Empat bulan berlalu, tak disangka-sangka ternyata Aku lulus hingga tahap ketiga seleksi pengajar relawan yang diakui Negeri. Tinggal mengikuti tahap akhir untuk mendapat penugasan tempatku mengajar. Aku yakin pasti Emak begitu bahagia mengetahui Aku lulus, tetapi Aku juga sedih karena Aku pasti dipindahkan ke pelosok Negeri dan berpisah dengan Emak. Sesampainya di rumah, Aku pun memberanikan diri menceritakan hasil kelulusan tenaga pengajar Negeri tersebut. Alangkah bahagianya Emak mendengar ceritaku. Emak gak menyangka kalau Aku ikut mencoba tes seleksi menjadi pengajar tersebut.

“Tapi Mak, Elin tidak tahu ditempatkan dimana. Makanya, Elin gak berharap lebih untuk lulus berikutnya Mak.” Jawabku berusaha menenangkan diri dan perasaan Emak. Emak melihatku seksama. Ia menemukan segala ketakutanku.

“Semoga Allah memberikan mukjizatnya untukmu, Anakku.” Ujar Emak menggenggam kedua jemariku. Ada dua cahaya doa yang mengarah ke langit sore itu. Aku merasakan ketenangan yang Emak berikan. Aku benar-benar ikhlas dan pasrah pada Maha Semesta Alam.

Seminggu kemudian, Elin pun mendapat email bahwa Ia dinyatakan lulus dan ditempatkan di provinsi tempat tinggalnya. Tentu saja, Elin sewaktu pulang mengajar memberikan kabar bahagia ini kepada Emak. Emak yang mendengarnya, langsung masuk ke dalam rumah. Elin heran dengan reaksi Emak. Emak pun keluar kembali dan membawa kertas yang ditulisnya beberapa bulan lalu. Emak berikan kepada Elin.

“Inikan kertas yang Emak rahasiakan dari Elin, waktu dulukan Mak?” Tanya Elin yang masih bingung kenapa Emak tiba-tiba memberikan kertas itu kepadanya. Emak mengangguk pertanda iya. Elin pun membukanya dan membaca satu kalimat tulisan Emak yang sama semua isinya yaitu “Semoga, Elin menjadi guru yang pengabdiannya diakui Negara. Aamiin ya Allah.”

Ternyata isi kertas Emak, empat bulan lalu adalah doa untukku yang kini di indahkan. Dan kali ini, doa seorang Emak tak ada yang diragukan lagi mujarabnya. Aku merasakan surga dunia benar-benar nyata pada doa Emak. 

*Cerpen ini terbit di Harian Jurnal Asia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar